Asal Mula Nama Daerah Tangerang dan Penduduk Tangerang
Kamis, 24-05-2016 10:02:22 oleh: Ign. ABDUL ROKHIM Iptek
Dulu bernama Tanggeran
Menurut
tradisi lisan yang menjadi pengetahuan masyarakat Tangerang, nama
daerah Tengerang dulu dikenal dengan sebutan Tanggeran yang berasal dari
bahasa Sunda yaitu tengger dan perang. Kata “tengger” dalam bahasa
Sunda memiliki arti “tanda” yaitu berupa tugu yang didirikan sebagai
tanda batas wilayah kekuasaan Banten dan VOC, sekitar pertengahan abad
17. Oleh sebab itu, ada pula yang menyebut Tangerang berasal dari kata
Tanggeran (dengan satu g maupun dobel g). Daerah yang dimaksud berada di
bagian sebelah barat Sungai Cisadane (Kampung Grendeng atau tepatnya di
ujung jalan Otto Iskandar Dinata sekarang). Tugu dibangun oleh Pangeran
Soegiri, salah satu putra Sultan Ageng Tirtayasa. Pada tugu tersebut
tertulis prasasti dalam huruf Arab gundul dengan dialek Banten, yang
isinya sebagai berikut:
Bismillah peget Ingkang Gusti
Diningsun juput parenah kala Sabtu
Ping Gasal Sapar Tahun Wau
Rengsena Perang nelek Nangeran
Bungas wetan Cipamugas kilen Cidurian
Sakebeh Angraksa Sitingsung Parahyang-Titi
Terjemahan dalam bahasa Indonesia :
Dengan nama Allah tetap Maha Kuasa
Dari kami mengambil kesempatan pada hari Sabtu
Tanggal 5 Sapar Tahun Wau
Sesudah perang kita memancangkan Tugu
Untuk mempertahankan batas Timur Cipamugas
(Cisadane) dan Barat yaitu Cidurian
Semua menjaga tanah kaum Parahyang
Sedangkan istilah “perang” menunjuk pengertian bahwa daerah tersebut
dalam perjalanan sejarah menjadi medan perang antara Kasultanan Banten
dengan tentara VOC. Hal ini makin dibuktikan dengan adanya keberadaan
benteng pertahanan kasultanan Banten di sebelah barat Cisadane dan
benteng pertahanan VOC di sebelah Timur Cisadane. Keberadaan benteng
tersebut juga menjadi dasar bagi sebutan daerah sekitarnya (Tangerang)
sebagai daerah Beteng. Hingga masa pemerintahan kolonial, Tangerang
lebih lazim disebut dengan istilah “Beteng”.
Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, sekitar tahun 1652,
benteng pertahanan kasultanan Banten didirikan oleh tiga maulana
(Yudhanegara, Wangsakara dan Santika) yang diangkat oleh penguasa
Banten. Mereka mendirikan pusat pemerintahan kemaulanaan sekaligus
menjadi pusat perlawanan terhadap VOC di daerah Tigaraksa. Sebutan
Tigaraksa, diambil dari sebutan kehormatan kepada tiga maulana sebagai
tiga pimpinan (tiga tiang/pemimpin). Mereka mendapat mandat dari Sultan
Agung Tirtoyoso (1651-1680) melawan VOC yang mencoba menerapkan monopoli
dagang yang merugikan Kesultanan Banten. Namun, dalam pertempuran
melawan VOC, ketiga maulana tersebut berturut-turut gugur satu persatu.
Perubahan sebutan Tangeran menjadi Tangerang terjadi pada masa daerah
Tangeran mulai dikuasai oleh VOC yaitu sejak ditandatangani perjanjian
antara Sultan Haji dan VOC pada tanggal 17 April 1684. Daerah Tangerang
seluruhnya masuk kekuasaan Belanda. Kala itu, tentara Belanda tidak
hanya terdiri dari bangsa asli Belanda (bule) tetapi juga merekrut warga
pribumi di antaranya dari Madura dan Makasar yang di antaranya
ditempatkan di sekitar beteng. Tentara kompeni yang berasal dari Makasar
tidak mengenal huruf mati, dan terbiasa menyebut “Tangeran” dengan
“Tangerang”. Kesalahan ejaan dan dialek inilah yang diwariskan hingga
kini.
Sebutan “Tangerang” menjadi resmi pada masa pendudukan Jepang tahun
1942-1945. Pemerintah Jepang melakukan pemindahan pusat pemerintahan
Jakarta (Jakarta Ken) ke Tangerang yang dipimpin oleh Kentyo M Atik
Soeardi dengan pangkat Tihoo Nito Gyoosieken seperti termuat dalam Po
No. 34/2604. Terkait pemindahan Jakarta Ken Yaskusyo ke Tangerang
tersebut, Panitia Hari Jadi Kabupaten Tangerang kemudian menetapkan
tanggal tersebut sebagai hari lahir pemerintahan Tangerang yaitu pada
tanggal 27 Desember 1943. Selanjutnya penetapan ini dikukuhkan dengan
Peraturan Daerah Tingkat II Kabupaten Tangerang Nomor 18 Tahun 1984
tertanggal 25 Oktober 1984.
Asal Mula Penduduk Tangerang
Latar
belakang penduduk yang mendiami Tangerang dalam sejarahnya dapat
diketahui dari berbagai sumber antara lain sejumlah prasasti,
berita-berita Cina, maupun laporan perjalanan bangsa kulit putih di
Nusantara.
“Pada mulanya, penduduk Tangeran boleh dibilang hanya beretnis dan
berbudaya Sunda. Mereka terdiri atas penduduk asli setempat, serta
pendatang dari Banten, Bogor, dan Priangan. Kemudian sejak 1526, datang
penduduk baru dari wilayah pesisir Kesultanan Demak dan Cirebon yang
beretnis dan berbudaya Jawa, seiring dengan proses Islamisasi dan
perluasan wilayah kekuasaan kedua kesultanan itu. Mereka menempati
daerah pesisir Tangeran sebelah barat”.
[1]
Orang
Banten yang menetap di daerah Tangerang diduga merupakan warga campuran
etnis Sunda, Jawa, Cina, yang merupakan pengikut Fatahillah dari Demak
yang menguasai Banten dan kemudian ke wilayah Sunda Calapa. Etnis Jawa
juga makin bertambah sekitar tahun 1526 tatkala pasukan Mataram menyerbu
VOC. Tatkala pasukan Mataram gagal menghancurkan VOC di Batavia,
sebagian dari mereka menetap di wilayah Tangeran.
Orang Tionghoa yang bermigrasi ke Asia Tenggara sejak sekitar abad 7 M,
diduga juga banyak yang kemudian menetap di Tangeran seiring
berkembangnya Tionghoa-muslim dari Demak. Di antara mereka kemudian
banyak yang beranak-pinak dan melahirkan warga keturunan. Jumlah mereka
juga kian bertambah sekitar tahun 1740. Orang Tionghoa kala itu diisukan
akan melakukan pemberontakan terhadap VOC. Konon sekitar 10.000 orang
Tionghoa kemudian ditumpas dan ribuan lainnya direlokasi oleh VOC ke
daerah sekitar Pandok Jagung, Pondok Kacang, dan sejumlah daerah lain di
Tangeran.. Di kemudian hari, di antara mereka banyak yang menjadi
tuan-tuan tanah yang menguasai tanah-tanah partikelir.
Penduduk berikutnya adalah orang-orang Betawi yang kini banyak tinggal
di perbatasan Tangerang-Jakarta. Mereka adalah orang-orang yang di masa
kolonial tinggal di Batavia dan mulai berdatangan sekitar tahun 1680.
Diduga mereka pindah ke Tangeran karena bencana banjir yang selalu
melanda Batavia.
Menurut sebuah sumber, pada tahun 1846, daerah Tangeran juga didatangi
oleh orang-orang dari Lampung. Mereka menempati daerah Tangeran Utara
dan membentuk pemukiman yang kini disebut daerah Kampung Melayu
(Thahiruddin, 1971)[2]. Informasi mengenai seputar migrasi orang
Lampung, akan dibahas dalam tulisan ini di bagian bab berikutnya,
Di jaman kemerdekaan dan Orde Baru, penduduk Tangerang makin beragam
etnis. Berkembangnya industri di sana, mengakibatkan banyak pendatang
baik dari Jawa maupun luar Jawa yang akhirnya menjadi warga baru.
Menurut sensus penduduk tahun 1971, penduduk Tangerang berjumlah
1.066.695, kemudian di tahun 1980 meningkat menjadi 1.815.229 dan hingga
tahun 1996 tercatat mencapai 2.548.200 jiwa. Rata-rata pertumbuhan
per-tahunnya mencapai 5,23% per tahun.
Untuk sekedar memetakan persebaran etnis-etnis di Tangerang, dapat
disebutkan di sini bahwa daerah Tangerang Utara bagian timur berpenduduk
etnis Betawi dan Cina serta berbudaya Melayu Betawi. Daerah Tangerang
Timur bagian selatan berpenduduk dan berbudaya Betawi. Daerah Tangeran
Selatan berpenduduk dan berbudaya Sunda. Sedang daerah Tangeran Utara
sebelah barat berpenduduk dan berbudaya Jawa[3]. Persebaran penduduk
tersebut di masa kini tidak lagi bisa mudah dibaca mengingat banyaknya
pendatang baru dari berbagai daerah. Maka, apabila ingin mengetahui
persebaran etnis di Tangerang, tentunya dibutuhkan studi yang lebih
mendalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar